Oleh : Suryadi (Staf pada Kanwil Depag Prov. Kalimantan Selatan) Pada galibnya, konsepsi dan sistem pendidikan adalah utuh dan bulat tidak terkoyak dan terpilah oleh adanya batas-batas kepentingan struktural dan kuasi ilmiah dalam paradigma proses dan hasil pendidikan. Penyimpangan dalam nilai pendidikan, sering dibenarkan dengan dalih memiliki orientasi untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM), demi mempercepat pencapaian tujuan pembangunan.
Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan ini melahirkan gagasan untuk membangun sekolah-sekolah unggulan, favorit, dual system, bimbingan tes dan lain-lain. Pemikiran seperti itu, bisa saja benar. Akan tetapi, kita juga harus mengingat kembali bahwa konsep dasar pendidikan adalah upaya pendewasaan peserta didik melalui pengembangan intelektual, fisik dan mental secara bersamaan dan utuh diikuti langkah-langkah pembudayaan yang mengandung implikasi sosial. Dewasa ini, kerapkali terjadi distorsi dalam makna pendidikan dan pembelajaran.
Sejatinya, pendidikan mencakup aspek kualitatif dan kuantitatif tidak hanya bertujuan mencerdaskan tetapi yang lebih hakiki adalah memanusiakan anak manusia. Demikian pula yang terjadi pada guru-guru kita, memaknai pendidikan hanya tujuan kecerdasan semata. Pergeseran makna pendidikan hanya kepada pencapaian tujuan kuantitatif akan mengaburkan konsep dan orientasi pendidikan itu sendiri. Tidak jarang, keadaan tersebut mengakibatkan semakin rendahnya pamor pendidikan yang akan diikuti oleh ketidakpercayaan publik pada pendidikan dan segala hal yang meliputinya. Memang harus disadari oleh kita semua bahwa pendidikan bukan hanya sekolah.
Tetapi, sekolah sebagai salah satu implementator sistem pendidikan dalam masyarakat harus memainkan peran yang semakin profesional. Keadaan tersebut harus dijalani karena telah terjadi penyempitan hakikat dan makna pendidikan dalam masyarakat. Kondisi ini tidak terlepas dari peranan global dan kebijakan pemerintah dalam mengkonsepsikan pendidikan. Dengan berbagai sistem yang terbentuk sekarang, seolah sekolah adalah penanggung jawab tunggal kualitas pendidikan dalam masyarakat kita. Demikian pula respon masyarakat, melimpahkan tanggung jawab pendidikan sepenuhnya kepada sekolah. Sekolah, diserahi tugas yang begitu berat. Di samping bertanggung jawab pada kualitas intelektual peserta didik, juga harus menanamkan nilai ke-Tuhanan, moral, fisik dan mental secara bersamaan dalam waktu yang terbatas. Akibat yang ditimbulkan dari kompleksitas permasalahan pendidikan di atas adalah kurikulum sekolah yang padat dan waktu belajar yang panjang. Banyak anak kita kehilangan waktu bermain dan bersosialisasi mereka karena setelah jam belajar sekolah-pun harus menambahnya dengan berbagai macam kursus dan bimbingan belajar karena target kurikulum yang akan diujikan pada ulangan, ujian semester atau ujian nasional. Secara psikologis anak kita dibentuk untuk lebih cepat menjadi dewasa secara kognitif.
Apakah ini tidak berdampak negatif pada perkembangan psikologis mereka secara utuh sebagai anak? Situasi tersebut diperburuk dengan pola asuh keluarga dalam masyarakat kita sekarang yang cenderung semakin liberal, materialistik dan lebih ke arah westernisasi. Tidak sedikit orang tua dengan kesibukan pekerjaan menyerahkan pengasuhan, bimbingan dan pendampingan (parenting) anak kepada pekerja rumahtangga atau kepada televisi dan permainan-permainan komputer. Akibatnya, tidak sedikit anak kita terjebak dengan narkoba, pergaulan bebas, perilaku kekerasan, dan kenakalan remaja lainnya. Ketika sudah terjadi hal buruk pada anak, jangan hanya menyalahkan mereka. Anak adalah korban dari sistem pendidikan yang tidak manusiawi dan lingkungan yang semakin terjangkit virus global yang mengeksploitasi hak dan tumbuh kembang anak secara alamiah, sesuai dengan kodrat kemanusiaan. Sekarang yang menjadi bahan diskusi dan tantangan terhadap dunia pendidikan kita adalah memadukan dan mendekatkan keadaan antara teori, harapan dan kehendak bangsa untuk membangun kualitas SDM, khususnya generasi muda yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cerdas, terampil, mandiri, cakap dan beretos kerja.
Bukan hanya tujuan kuantitatif, yang terpenting adalah kualitas yang hakiki dari pendidikan kita. Apalagi kalau ada orientasi untuk melakukan kejahatan mengatasnamakan pendidikan, tentu sangat terkutuk dan dibenci semua pihak. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pendidikan tidak dapat dianggap ringan. Pada dasarnya, dua institusi tersebut adalah pelaku utama pendidikan dasar bagi anak. Melalui tranformasi nilai lokal dan reproduksi budaya merupakan proses awal pendidikan. Pendidikan dalam keluarga tentang nilai ke-Tuhanan, kemanusiaan, moral dan sistem sosial adalah sejarah pendidikan anak manusia. Pendidikan memegang kunci strategis dalam peningkatan kualitas SDM kita bila penanganannya dilaksanakan secara terencana, terpadu, terukur dan berwawasan masa depan yang sangat dinamis. Kunci koordinatif dipegang oleh pemegang kebijakan, aparatur, pemimpin, orang tua dan guru yang harus menjadi teladan atau contoh perilaku bagi anak.
Sumber : https://jatim.kemenag.go.id/artikel/8956/artikel–memaknai-hakekat-pendidikan